Politik Luar Negeri Orde Baru
Posted on November 3, 2011 | 1 Komentar
Pendahuluan
Orde Baru (Orba) adalah rezim yang
berkuasa di Indonesia terlama dan terpanjang kekuasaannya. Dengan masa 32
tahun, rezim orba mempunyai dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang sangat
panjang. Kebijakan yang diambil oleh Presiden Soeharto maupun oleh para
pembantunya mempunyai karakteristik dan ciri yang khas, yaitu militeristik dan
terpusat. Pemerintah yang ter-sentralisasi membuat hampir semua kebijakan di
semua lini seragam dan ditujukan untuk mendukung pembangunan ekonomi dan
stabilitas yang diagung-agungkan pada masa itu. Hasilnya adalah sebuah
pemerintah yang otoriter selama kurang lebih 32 tahun sebelum dijatuhkan oleh people
power pada masa reformasi.
Politik luar negeri termasuk bidang
dalam pemerintahan orba yang dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai
kepentingan nasionalnya. Hal yang terpenting dan menjadi prioritas dalam
politik luar orba adalah pembangunan dan stabilitas. Hal ini menjadi panduan
dalam politik luar negeri orba yang menjadi antitesa dari politik luar negeri
orde lama. Orde lama atau masa demokrasi terpimpin menjadikan politik luar
negerinya sebagai alat untuk condong ke blok timur. Hal ini kemudian diubah
oleh orba, salah satunya memutus hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat
Tiongkok (RRT). Walaupun pada tahun 1990, Indonesia membuka kembali hubungan
tersebut dengan alasan ekonomi.[1]
Menelisik lebih jauh mengenai
politik luar negeri yang dibangun pada masa orba merupakan diskusi yang panjang
dan tak ada habisnya. Politik luar negeri yang dianggap sebagai “anak
kesayangan” Amerika Serikat (AS) seringkali disematkan pada orba. Walaupun hal
tersebut harus dikaji lebih mendalam untuk lebih memahami politik luar negeri
orba yang tidak sederhana. Dalam kondisi perang dingin yang terjadi antara AS
dan Uni Sovyet, posisi Indonesia jelaslah menjadi penting. Efek domino
komunisme yang ditakutkan oleh barat telah membuat pentingnya posisi Indonesia
di mata barat. Dalam hal ini menarik membahas posisi pemerintah Indonesia di
bawah Soeharto dan melihat konsep “bebas-aktif” yang selama ini menjadi dasar
dan sifat politik luar negeri Indonesia.
Orde Baru Sebagai Antitesa Orde lama
Seperti yang sudah dijelaskan
diatas, politik luar negeri orba muncul sebagai lawan dari politik luar negeri
orde lama yang bersifat lebih revolusioner dan menjadikan nasionalisme sebagai
alat kesatuan bangsa. Politik luar negeri yang nasionalistik menjadikan
Indoensia terus menaruh kecurigaan pada barat. Sifat yang dianut oleh orde lama
adalah bebas aktif, namun pada demokrasi terpimpin yang terjadi adalah koalisi
tidak resmi Indonesia dengan negara-negara blok timur seperti RRT dan Uni
Sovyet.
Orde lama dimulai ketika Soekarno
menyatakan dekrit 1959 yang memberlakukan UUD 1945 dan meninggalkan UUD RIS.
Dalam sikap politiknya, Soekarno sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Hal ini menjadi nyata, ketika Soekarno menyampaikan pidato manifesto
politik (manipol) yang mengidentifikasikan musuh nasional yaitu imperialis
barat. Kedekatan kepada blok timur pun semakin nyata setelah Indonesia mendapat
bantuan militer dari Uni Sovyet untuk pembebasan Irian Barat. Hubungan
Indonesia dengan Barat semakin menjauh setelah Soekarno membentuk New
Emerging Forces (Nefos) dan Old Established Forces (Oldefos).
Soekarno mengelompokkan negara-negara komunis dan sebagian negara Asia-Afrika
di Nefos sebagai lawan dari barat yang dimasukkannya dalam Oldefos. Ditambah
lagi dengan aksi konfrontasi ganyang Malaysia, keluarnya Indonesia dari
keanggotaan PBB, dan menyelenggarakan konferensi anti imperialis Conefo (Conference
of New Emerging Forces). [2]
Namun disaat politik luar negeri
Indonesia yang sangat hiper-aktif dan militan, kondisi perekonomian dan politik
dalam negeri terjadi sebaliknya. Perekonomian hancur, harga-harga melambung tak
terkendali, kemiskinan tidak bisa diatas peemrintah, hiper-inflasi terjadi
dimana-mana. Pemerintah orde lama yang pada saat itu sedang menghabiskan
anggaran negara untuk membiayai konfrontasi ganyang malaysia dan penyeleseian
proyek mercusuar, tidak berkutik dan tidak mampu mengatasi itu semua. Kondisi
politik dalam negeri pun tidak berbeda. Konflik politik antara militer dan PKI
terlihat semakin meruncing. Puncaknya yang terjadi dengan meletusnaya peristiwa
Gerakan 30 September 1965[3]. Peristiwa itu membuat
pemerintah Soekarno semakin lemah.
Setelah kejadian G 30 S, pemerintah
Soekarno menjadi lemah. Kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto
semakin membuat kekuasaan Soekarno lemah. Puncaknya, MPRS menetepkan Jenderal
Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1968. Pada saat inilah yang
menjadi akhir dari orde lama dan menjadi awal orde baru.
Pemerintah Orde baru memperbaiki
politik luar negeri yang revolusioner pada era orde lama, menjadi lebih ramah
dan aktif di dunia internasional. Hal yang pertama dilakukan adalah memperbaiki
dan me-normalisasi hubungan diplomatik dengan Malaysia. Hal yang juga dilakukan
oleh pemerintah orba adalah pembentukan organisasi di tingkat regional Asia
Tenggara. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas kawasan dan menjadi
wadah kerjasama antara negara-negara Asia Tenggara. Indonesia menjadi salah
satu pendiri Organisasi Regional Asia Tenggara (ASEAN) dari lima negara yang
ikut mendirikan di Bangkok pada 1967.
Dalam hal perekonomian dan hubungan
dengan barat pemerintah orba pun memperbaiki hubungannya tersebut. Hal ini
berkaitan langsung dengan perekonomian dan pembangunan yang dicanangkan
pemerintah orba. Pemerintah orba membutuhkan banyak dana untuk melaksanakan
pembangunan. Untuk itu, pemerintah mengadakan pertemuan dengan negara-negara
donor untuk membicarakan adanya utang untuk pembangunan. Negara-negara tersebut
kemudian membentuk sebuah forum bernama Inter-govermental Group On Indonesia
(IGGI). Selain itu, pemerintah pun membuat UU investasi yang mempermudah
investasi asing masuk ke dalam negeri.
Namun hal itu pun membuat
konsekuensi logis terhadap hasil politik luar negeri yang dibangun oleh orde
lama seperti forum-forum Gerakan Non-Blok (GNB) dan konferensi Asia-Afrika.
Pasa masa orba, negara-negara GNB menolak Indonesia mengetuai GNB karena
dianggap sebagai pro-barat. Selain itu, invasi Indonesia terhadap Timor-Timur
pun memicu ketidaksukaan terhadap pemerintah orba.
Interpretasi Atas Doktrin “Bebas
Aktif”
Doktrin Bebas-Aktif pertama kali
diungkapkan oleh Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta. Mohammad Hatta dalam
pidatonya “Mendayung Antara Dua Karang”, “aktif” yang dimaksud menunjukkan
suatu intensitas Indonesia untuk ikut serta dalam usaha menjaga dan menciptakan
perdamaian dunia. Ini berarti Indonesia tidak menunjukkan suatu netralitas,
yang diartikan sebagai keadaan tak berpartisipasi. Yang dimaksudkan Bung Hatta
adalah Indonesia tidak memihak adidaya dunia namun bukan berarti Indonesia
mundur dari arena pertentangan internasional, melainkan Indonesia akan terus
berusaha secara aktif untuk melakukan upaya-upaya demi menciptakan perdamaian
dunia. [4]
Landasan konstitusi politik
bebas-aktif baru dibuat tahun 1999, yaitu UU 37 tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri pasal 3 menyatakan bahwa Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas
aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Namun UU ini belum ada di mas
orde baru. Sehingga prinsip bebas-aktif yang dianut dan dijadikan landasan
hanya sebagai landasan moral, bukan konstitusional.
Menurut A Agus Sriyono dalam
tulisannya Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Zaman Yang Berubah,
mengatakan bahwa prinsip politik luar negeri yaitu bebas-aktif yang dianut oleh
Indonesia hampir dijadikan prinsip dan landasan setiap rezim. Bebas dan aktif
menjadi semacam prinsip yang tak terubah-kan dalam politik luar negeri
Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, pengertian bebas kadang ditafsirkan
secara elastis dan interpretatif. Berbeda dengan “bebas”, “aktif” relatif lebih
diartikan secara tetap setiap rezim. [5] Misalnya ketika masa
perang dingin, kata “bebas” mengandung arti tidak memihak blok manapun. Namun
ketika perubahan konstelasi dari bipolar menjadi unipolar, maka kata “bebas”
adalah bebas untuk menolak maupun menerima isu internasional apapun. Pemerintah
orba mengartikan doktrin bebas-aktif sebagai tidak memihaknya kepada dua blok
barat ataupun timur. Namun dengan dalih ini pula, pemerintah orba merasa untuk
mencegah menyebarnya komunisme di kawasan Asia Tenggara. Hal ini pula yang
melandasi berdirinya ASEAN.
Namun dalam hal yang
melatarbelakangi politik luar negeri orba ini, penulis berpendapat bahwa
landasan dan prinsip bebas-aktif tidak terlalu dominan dalam membentuk pola
perilaku dan bentuk politik luar negeri. Dalam melihat hal ini, penulis lebih
Teori persepsi dalam politik luar negeri bahwa persepsi para pembuat kebijakan
luar negeri berpengaruh pada dan memainkan peran dalam menentukan kebijakan
negara yang dilaksanakan pada politik luar negeri terhadap negara
lain. Leo Suryadinata mengatakan bahwa formulasi politik luar negeri
Indonesia cenderung dibentuk oleh elit daripada oleh “massa” melalui proses
demokrasi. Elit yang dimaksud banyak dipengaruhi oleh budaya dan efek historis.
Walaupun pembentukan politik luar negeri dibentuk oleh beberapa lembaga, namun
pemerintahan orba yang didominasi militer dan sentralistik menjadikan Soeharto
sebagai pembentuk dominan politik luar negeri dibanding prinsip bebas-aktif.
Keberhasilan Politik Luar Negeri
Orde Baru
Menurut Norman J. Padelford, “national
interest of a country is what its govermental leaders and in large degree also
what its people consider at anytime to be vital to their national independence
way, way of life, territorial security, and economic welfare. “ Dalam hal
ini, kepentingan nasional lah yang paling menjadi landasan paling penting dalam
pembentukan politik luar negeri. Penting untuk diingat bahwasanya landasan
utama orde baru adalah pembangunan dan stabilitas nasional.
Untuk mencapai kepentingan nasional
nya, maka pemerintah orba membentuk beberapa kebijakan luar negeri. Merujuk
dari penjelasan diatas, bahwa politik luar negeri yang telah dibangun oleh
politik luar negeri orba bisa disimpulkan menjadi tiga variabel: Perbaikan
Ekonomi, Normalisasi hubungan dengan dunia barat, dan revitalisasi organisasi
regional.
Pertama, Perbaikan ekonomi yang menjadi prioritas pemerintah orba
dituangka dalam pembangunan lima tahun (Pelita). Pelita direncanakan setiap
lima tahun dan ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Untuk mendukung terlaksananya pelita, Indonesia
membentuk negara-negara pendonor dalam forum Inter-govermental Group On
Indonesia (IGGI). Selain itu, pemerintah pun membuat UU investasi yang
mempermudah investasi asing masuk ke dalam negeri.
Beberapa faktor yang menjadikan ini
berhasil yaitu,
- Kelompok Bappenas yang terkenal disebut “mafia berkeley” yaitu tim yang sebagian besar lulus dari University of California di Berkeley yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro. Ideologi ekonomi yang terlampau tidak terlalu berbeda, yaitu ekonomi liberal, menjadikan kerjasama antara negara-negara barat menjadi lancar. Hal-hal krusial yang menjadi masalah di zaman orde lama seperti investasi asing, dll. tidak terlalu menjadi masalah.
- Komitmen Presiden Soeharto untuk memperbaiki perekonomiannya dan meninggalkan isu politik tinggi (High Politics) sebagai landasan pemerintahannya.
Kedua, memperbaiki hubungan dengan negara-negara barat adalah
salah satu politik luar negeri penting yang dilaksanakan pemerintah orba. Salah
satu yang diperbaiki adalah kerjasama ekonomi dengan membentuk forum seperti
Inter-govermental Group On Indonesia (IGGI). Di luar hal itu, masuknya
kembali Indonesia ke dalam keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi awal
normalisasi hubungan Indonesia dengan negara-negara barat.
Hal yang menjadi isyarat presiden
Soeharto adalah pidato ada KTT Non Blok di Lusaka tahun 1970, yang mengatakan
bahwa hendaknya Indonesia harus bisa menjalin kerjasama dengan negara manapun
di dunia dalam berbagai bidang, kecuali bila tidak mempunyai hubungan
diplomatik dengan negara tesebut. Walaupun dalam pernyataannya tersebut, Presiden
Soeharto menyatakan belum perlu untuk masuk dalam aliansi atau kelompok militer
seperti NATO ataupun Pakta Warsawa. [6]
. Dengan masuknya kembali Indonesia
ke dalam PBB, Indonesia semakin aktif dalam percaturan internasional. Faktor
yang menyebabkan keberhasilannya adalah,
- Niat baik dan komitmen Presiden Soeharto dalam menjalin hubungan baik kembali dengan negara-negara barat.
- Sambutan negara barat, terutama AS yang menganggap peran Indonesia sangat vital di Asia Tenggara terutama dalam menjaga stabilitas kawasan dan menjaga tersebarnya ideologi komunisme ketika perang dingin.
- Pengaruh dari kebutuhan bantuan ekonomi seperti yang sudah dijelaskan diatas dan juga fokus pemerintah orba yang juga untuk pembangunan.
Walaupun akhirnya bisa masuk dalam
keanggotaan PBB kembali, tidak selalu hubungan Indonesia dengan barat, terutama
AS lancar. Kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur menjadikan hubungan Indonesia
dengan AS sempat renggang.
Ketiga, Revitalisasi organisasi regional menjadi salah satu
agenda penting politik luar negeri orde baru. Hal ini menjadi respon dari
politik luar negeri orde lama yaitu konfrontasi dengan Malaysia. Kecurigaan dan
prasangka pada tetangga terdekat menjadikan Indonesia tak pernah bisa maju
untuk bekerja sama kemudian bersaing secara sehat. Secara geopolitik dan
geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat strategis. Hal
tersebut tercermin dari adanya berbagai konflik di kawasan yang melibatkan
kepentingan negara-negara besar pasca Perang Dunia II, sehingga Asia Tenggara
pernah dijuluki sebagai “Balkan-nya Asia”. Persaingan antar negara adidaya dan
kekuatan besar lainnya di kawasan antara lain terlihat dari terjadinya Perang
Vietnam. Disamping itu, konflik kepentingan juga pernah terjadi diantara sesama
negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan
Malaysia, klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta
berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia.[7]
Faktor-faktor keberhasilan nya
adalah,
- Adanya keinginan kelima negara pembentuk ASEAN yaitu me-revitalisasi kerja sama terutama di bidang ekonomi di negara-negara ASEAN
- Ada keinginan bersama untuk menjaga stabilitas kawasan dari perang dingin.
- Kelima negara tersebut ingin melaksanakan pembangunan sekaligus menjaga penyebaran ideologi komunisme.
- Dukungan dari blok barat terutama AS untuk menjaga “efek domino komunisme” terutama dari negara-negara komunis di Asia Tenggara seperti Vietnam.
Selain faktor yang diatas tadi,
terdapat sebab lainnya. Terutama faktor eksternal yang mendukung terbentuknya
organisasi regional. Filipina misalnya, adalah negara yang sebagian besar
Katholik, sehingga merasa terasing di kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar
Islam dan Hindu. Selain itu, integrasi wilayah dalam suatu organisasi regional
memberikan kedaulatan yang lebih kuat untuk negara-negara kecil seperti
Singapura dan Brunei Darussalam. Dalam hal ini, sebenarnya alasan pragmatisme
ekonomilah yang kuat, namun bukannya integrasi ekonomi, melainkan stabilitas
yang mendukung perekonomian tumbuh. Namun dalam efektivitas kinerja organisasi
regional untuk memenuhi ekspektasi ideal tersebut, masih kurang berhasil.
Misalnya dalam mediasi konflik antar negara.
Kesimpulan
Politik Luar Negeri Orba merupakan
Antitesa dari politik luar negeri orde lama. Kebijakan yang diambil baik
bbidang politik dan ekonomi berbeda jauh dengan orde lama. Sifat bebas-aktif
adalah konsep yang interpretatif. Sifat politik luar negeri orba yang
bebas-aktif merupakan penafsiran yang berbeda dari orde lama. Ada tiga variabel
penjabaran dari kepentingan nasional orde baru, yaitu perbaikan ekonomi,
normalisasi hubungan dengan barat, dan revitalisasi organisasi regional.
[1] Lihat Sukamdani Sahid
Gitosardjono, dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok di era kebangkitan AS,
2006, Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial, Budaya Indonesia China, hal 56.
[2] Lihat Leo Suryadinata, Politik
Luar Negeri Orde Baru, 1998, LP3ES, hal. 40.
[3] Peristiwa G30S versi
pemerintah orba mengatakan bahwa itu adalah percobaan kup PKI atas kekuasaan
Soekarno. Namun hal itu masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Terdapat
banyak versi yang menjelaskan pelaku hingga tujuan peristiwa tersebut. Lihat
Julious Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan petualang,
2010, Kompas, hal IX
[4] Lihat http://www.scribd.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-Indonesia-Kebebasaktifan-Yang-Oportunis
diakses pada 03/11/11 pukul 4:39
[5] Lihat A Agus Sriyono, dkk, Hubungan
Internasional: Percikan Pemikiran Para Diplomat, 2004, Gramedia, hal. 4
[6] Lihat http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/222971735.pdf
Diakses pada 03/11/11 pukul 6:12
[7] Direktorat Jenderal Kerja Sama
ASEN, Deplu RI, Selayang pandang ASEAN, 2007, Deplu RI, hal I
sumber :http://rofiuddarojat.wordpress.com/2011/11/03/284/