ASAL MULA NAMA KEDIRI DAN
HARI JADINYA
31 Oktober 2011 pukul 0:21
Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari
kata "KEDI" yang artinya "MANDUL" atau "Wanita
yang tidak berdatang bulan".
Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, 'KEDI" berarti Orang
Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang
Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama "KEDI
WRAKANTOLO". Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang
bertapa di Gua Selomangleng, "KEDI" berarti Suci atau Wadad.
Di samping itu kata Kediri berasal dari kata "DIRI"
yang berarti Adeg, Angdhiri,menghadiri atau menjadi Raja (bahasa
Jawa Jumenengan).
Untuk itu dapat kita baca pada prasasti "WANUA"
tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :
"Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara,
angdhiri rake panaraban",artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta
Raja Pake Panaraban. Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang
berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara
Kertagama dan Kitab Calon Arang. Demikian pula pada
beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceker,
berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar
Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa
kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, "Tanah Perdikan".
Dalam prasasti itu tertulis "Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring
Bhuwi Kadiri" artinya raja telah kembali kesimanya, atau
harapannya di Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan
Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais
tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang
diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur."Aka ni satru wadwa kala
sangke purnowo", sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang ("tatkala
nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri
maharaja siniwi ring bhumi kadiri").
Menurut bapak MM. Sukarto Kartoatmojo menyebutkan bahwa
"hari jadi Kediri" muncul pertama kalinya bersumber dari tiga buah prasasti
Harinjing A-B-C, namun pendapat beliau, nama Kadiri yang paling tepat
dimunculkan pada ketiga prasasti. AlasannyaPrasasti Harinjing A tanggal
25 Maret 804 masehi, dinilai usianya lebih tua dari pada kedua prasasti B dan
C, yakni tanggal 19 September 921 dan tanggal 7 Juni 1015 Masehi. Dilihat dari
ketiga tanggal tersebut menyebutkan nama Kediri ditetapkan tanggal 25
Maret 804 M. Tatkala Bagawanta Bhari memperoleh anugerah tanah
perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di
ketiga prasasti Harinjing.
Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan
Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.Selanjutnya
ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Derah Tingkat II Kediri tanggal 22
Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang pasal 1
berbunyi "Tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi
Kabupaten Kediri.
MENGUKIR KEDIRI LEWAT TANGAN BHAGAWANTA BARI.
Mungkin saja Kediri tidak akan tampil dalam panggung sejarah,
andai kata Bagawanta Bhari, seorang tokoh spiritual dari belahan
Desa Culanggi, tidak mendapatkan penghargaan dari Sri Maharaja Rake Layang Dyah
Tuladong. Boleh dikata, pada waktu itu Bagawanta Bhari, seperti
memperoleh penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha, kalau hal itu terjadi
sekarang ini. Atau mungkin seperti memperoleh penghargaan Kalpataru sebagai
Penyelamat Liangkungan. Memang Kiprah Bagawanta Bhari kala itu, bagaimana upaya
tokoh spiritual ini meyelamatkan lingkungan dari amukan banjir tahunan yang
mengancam daerahnya. Ketekunannya yang tanpa pamrih inilah akhirnya
menghantarkan dirinya sebagai panutan, sekaligus idola masyarakat kala itu.
Ketika itu tidak ada istilah Parasamya atau Kalpataru, namun bagi masyarakat
yang berhasil dalam ikut serta memakmurkan negara akan mendapat
"Ganjaran" seperti Bagawanta Bhari, dirinya juga memperoleh ganjaran
itu berupa gelar kehormatan "Wanuta Rama" (ayah yang
terhormat atau Kepala Desa) dan tidak dikenakan berbagai macam pajak (Mangilaladrbyahaji)
di daerah yang dikuasai Bagawanta Bhari, seperti Culanggi dan Kawasan
Kabikuannya.
Sementara itu daerah seperti wilayah Waruk Sambung dan Wilang,
hanya dikenakan "I mas Suwarna" kepada Sri Maharaja setiap bulan
"Kesanga" (Centra).Pembebasan atas pajak itu antara lain berupa "Kring
Padammaduy" (Iuran Pemadam Kebakaran),"Tapahaji
erhaji" (Iuran yang berkaitan dengan air), "Tuhan
Tuha dagang" (Kepala perdagangan), "Tuha
hujamman" (Ketua Kelompok masyarakat), "Manghuri" (Pujangga
Kraton), "Pakayungan Pakalangkang" (Iuran lumbung
padi), "Pamanikan" (Iuran manik-manik, permata) dan
masih banyak pajak lainnya.
Kala itu juga belum ada piagam penghargaan untuknya. maka
sebagai peringatan atas jasanya itu lalu dibuat prasasti sebagai
"Pengeleng-eleng" (Peringatan). Prasasti itu diberi nama "HARINJING
B" yang bertahun Masehi 19 September 921 Masehi. Dan disebitlah
"Selamat tahun saka telah lampau 843, bulan Asuji, tanggal lima belas paro
terang, paringkelan Haryang, Umanis (legi). Budhawara (Hari Rabo), Naksatra
(bintang) Uttara Bhadrawada, dewata ahnibudhana, yoga wrsa.Menurut penelitian
dari para ahli lembaga Javanologi, Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, Kediri
lahir pada Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itulah, Kediri mulai disebut-sebut
sebagai nama tempat maupun negara. Belum ada sumber resmi seperti prasasti
maupun dokumen tertulis lainnya yang dapat menyebutkan, kapan sebenarnya Kediri
ini benar-benar menjadi pusat dari sebuah Pemerintahan maupun sebagai mana
tempat.Dari prasasti yang diketemukan kala itu, masih belum ada pemisah wilayah
administratif seperti sekarang ini.
Menurut penelitian dari para ahli lembaga Javanologi, Drs. M.M.
Soekarton Kartoadmodjo, Kediri lahir pada Maret 804 Masehi. Sekitar tahun
itulah, Kediri mulai disebut-sebut sebagai nama tempat maupun negara. Belum ada
sumber resmi seperti prasasti maupun dokumen tertulis lainnya yang dapat
menyebutkan, kapan sebenarnya Kediri ini benar-benar menjadi pusat dari sebuah
Pemerintahan maupun sebagai mana tempat.Dari prasasti yang diketemukan kala
itu, masih belum ada pemisah wilayah administratif seperti sekarang ini.
Adanya Kabupaten dan Kodya Kediri, sehingga peringatan Hari Jadi
Kediri yang sekarang ini masih merupakan milik dua wilayah dengan dua kepala
wilayah pula. Menurut para ahli, baik Kadiri maupun Kediri sama-sama berasal
dari bahasa Sansekerta, dalam etimologi "Kadiri" disebut sebagai
"Kedi" yang artinya "Mandul", tidak berdatang bulan
(aprodit). Dalam bahasa Jawa Kuno, "Kedi" juga mempunyai arti
"Dikebiri" atau dukun.
Menurut Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, nama Kediri tidak
ada kaitannya dengan "Kedi" maupun tokoh "Rara
Kilisuci". Namun berasal dari kata "diri" yang berarti
"adeg" (berdiri) yang mendapat awalan "Ka"
yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti "Menjadi Raja". Kediri juga
dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau
berswasembada. Jadi pendapat yang mengkaitkan Kediri dengan perempuan,
apalagi dengan Kedi kurang beralasan. Menurut Drs. Soepomo Poejo Soedarmo,
dalam kamus Melayu, kata "Kediri" dan "Kendiri"
sering menggantikan kata sendiri. Perubahan pengucapan "Kadiri"
menjadi "Kediri" menurut Drs. Soepomo paling tidak ada dua gejala.
Yang pertama, gejala usia tua dan gejala informalisasi. Hal ini berdasarkan
pada kebiasaan dalam rumpun bahasa Austronesia sebelah barat, di mana perubahan
seperti tadi sering terjadi.
27 Juli 879 M (Kota Kediri)
Sebagian anggota tim penelusuran hari jadi Kota Kediri, yang
terdiri dari para sejarawan dan arkeolog, berpendapat bahwa hari jadi Kediri
jatuh pada 27 Juli, sesuai dengan prasasti Kwak yang ditemukan di Desa Ngabean,
Magelang, Jawa Tengah. Prasasti bertanggal 27 Juli 879 Masehi ini menyebut kata
"Kwak", yang kebetulan adalah nama sebuah desa di Kediri. Daerah ini
sampai sekarang masih ada. Sebagian lagi menganggap ulang tahun Kediri seperti
tertulis di prasasti Hanjiring A (25 Maret 804 Masehi). Tapi ada pula yang
memakai prasasti Hanjiring B bertanggal 19 September 921 Masehi sebagai
patokan. Kontroversi kian hangat di acara Pertemuan Ilmiah Arkeologi Nasional
dan Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, yang digelar pada 23-28 Juli 2002
di Kediri. Para peserta mempertanyakan validitas penetapan hari jadi Kediri
berdasarkan prasasti Kwak. Versi mana yang benar? Bagaimana pula sebetulnya
cara menentukan hari jadi dan usia sebuah kota? Secara arkeologis, kata Edi
Sedyawati, guru besar arkeologi Universitas Indonesia, sulit mencari parameter
baku untuk menentukan hari jadi sebuah kota. Dan mengingat kota pada umumnya
tumbuh secara berangsur-angsur, tidak mudah memastikan pada tahap mana sebuah
kelompok hunian bisa disebut kota. Karena itu, banyak kota di Indonesia,
termasuk Kediri, menentukan hari jadinya semata-mata berdasarkan prasasti atau
situs peninggalan kuno yang dapat ditemukan. Menurut Edi, yang juga bekas
direktur jenderal kebudayaan, penentuan hari jadi sebuah kota sering
kontroversial karena ada dua aliran pemikiran. Aliran pertama menganggap hari
jadi sebuah kota ditentukan dari sejak kapan suatu hunian (kota) diketahui
pertama kali ada berdasarkan peninggalan benda-benda, seperti keramik,
misalnya. Aliran kedua memandang hari jadi sebuah kota ditentukan oleh sejak
kapan ia diberi nama seperti itu dalam prasasti tertua yang ditemukan. Kedua
aliran bertumpu pada temuan benda kuno. Itu sebabnya arkeologi menjadi disiplin
ilmu yang paling berperan menentukan usia sebuah kota. Namun, tidak selalu
mudah menemukan artefak semacam itu. Tidak mudah pula menentukan umur sekeping
keramik yang tertimbun tanah ratusan tahun. Karenanya, banyak disiplin ilmu
lain, seperti sejarah politik dan sosial, untuk mendukung atau menguji sebuah
temuan arkeologis. "Arkeologi sangat penting untuk meneguhkan sesuatu yang
sudah disimpulkan oleh sejarah," kata Moehamad Habib Mustopo, guru besar
arkeologi Universitas Negeri Malang. "Sejarah berdasarkan dokumen,
arkeologi berdasarkan material culture," dia menambahkan. Habib
mengatakan, kajian arkeologi dimulai dengan pelacakan ada-tidaknya material
culture suatu tempat. Material culture itu bisa berupa artefak (benda-benda
yang sengaja dibuat manusia, misalnya prasasti, arca, patung) atau situs
(lokasi artefak berada). Pelacakannya bisa berdasarkan sumber tertulis melalui
epigrafi (penelitian tulisan prasasti) ataupun filologi (penelitian tulisan
yang cenderung ke fiksi atau kesusastraan). Setelah itu, arkeologi akan menguji
validitas artefak yang ditemukan dan mencocokkannya dengan artefak pendukung
lainnya. Tahap berikutnya adalah melakukan penafsiran terhadap semua temuan
budaya, melibatkan para ahli dari pelbagai disiplin ilmu. Ahli fisika,
misalnya, diperlukan untuk melakukan analisis karbon untuk menguji usia suatu
benda. Baru setelah itu dilakukan penjelasan akhir tentang kesimpulan yang
didapat setelah dilakukan uji metodologis. Pada kasus Kediri, tahap-tahap itu
sebetulnya juga telah dilakukan. Ketua Tim Kajian Sejarah dan Budaya IKIP PGRI
Kediri, Heru Marwanto, menyatakan pihaknya telah melakukan riset panjang soal
penentuan hari jadi tersebut dengan meneliti semua prasasti yang ada. Dan di
antara beberapa catatan sejarah, prasasti Kwak atau prasasti Ngabean-lah yang
paling bisa dipertanggungjawabkan validitasnya. Terdiri atas lima artefak,
prasasti itu sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti berbentuk
lempengan tembaga berukuran 35,7 x 32,8 sentimeter dengan huruf Jawa kuno itu
menyebut-nyebut soal adanya penganugerahan tanah tegalan (tgal) di Kwak seluas
4 tampah (meter persegi) untuk dijadikan areal sawah dengan status semacam
tanah perdikan (sima). Kwak adalah nama sebuah kampung dan tempat pemandian
yang sangat dikenal oleh masyarakat Kediri. "Selain itu, seluruh prasasti
Kwak juga menyebut soal adanya pajak dan tata pemerintahan di sebuah kawasan
yang dikenal sebagai Kediri," kata Heru Marwanto, yang juga Rektor
Universitas Kediri. Jadilah prasasti Kwak dipakai sebagai "dasar
hukum" untuk menentukan hari jadi dan umur Kediri. Masalahnya, para
arkeolog masih berbeda penafsiran. Menurut Habib, kata "Kwak" yang
dimaksud prasasti belum tentu nama tempat di Kediri. "Sejauh mana 'Kwak'
yang disebut dalam prasasti itu mengacu pada Kediri?" tanya Habib,
"Bukankah nama tersebut bisa berarti sebuah lokasi di tempat lain?"
"Selain itu, ada sejumlah prasasti yang sebenarnya juga bisa dipakai
sebagai pijakan dalam menentukan hari jadi dan usia Kota Kediri," kata
Habib. Ada prasasti Pamotan bertanggal 20 November 1042 Masehi (periode
Airlangga), misalnya, juga prasasti Hantang bertanggal 7 September 1135
(periode Jayabaya), dan prasasti Mula-Malurung yang bertahun 1255 Masehi
(periode Singasari). Dari ketiga prasasti tersebut, menurut Habib, Hantang-lah
yang punya argumen paling kuat karena jelas-jelas menyebut kata
"Panjalu", yang identik dengan Kediri. Silang-sengketa itu belum
berakhir. Itu sebabnya beberapa ilmuwan sering lebih menyandarkan diri pada
dokumen sejarah yang lebih mutakhir. Dalam kasus Kediri, misalnya, hari jadi
kota bisa ditentukan berdasarkan surat keputusan pembentukan administrasi kota
itu pada era Republik Indonesia yang merdeka. "Cara ini yang paling
valid," kata Edi. Adapun tentang umur sebenarnya Kota Kediri, orang tetap
boleh memperdebatkannya. Wicaksono, Dwidjo U. Maksum (Kediri)